Sabtu, 21 November 2009

TEORI MOTIVASI; TEORI DRIVE-REINFORCEMENT DAN TEORI HARAPAN

TUGAS

PSIKOLOGI MANAJEMEN

Di susun oleh :

Kiki Nurmakiah 10507141

M. Novebri Aditya 10507149

Ninda Kurnia 10507171
Nita Sri handayani 10507297

3PA05

UNIVERSITAS GUNADARMA

KALIMALANG

BEKASI

2009
1. TEORI MOTIVASI
Motivasi dapat diertikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansi pekerja.
Menurut Hilgard dan Atkinson, tidaklah mudah untuk menjelaskan motifasi sebab :
1. Pernyataan motif antar orang adalah tidak sama, budaya yang berbeda akan menghasilkan ekspresi motif yang berbeda pula.
2. Motif yang tidak sama dapat diwujudkan dalam berbagai prilaku yang tidak sama.
3. Motif yang tidak sama dapat diekspresikan melalui prilaku yang sama.
4. Motif dapat muncul dalam bentuk-bentuk prilaku yang sulit dijelaskan
5. Suatu ekspresi prilaku dapat muncul sebagai perwujudan dari berbagai motif.
Berikut ini dikemukakan huraian mengenai motif yang ada pada manusia sebagai factor pendorong dari prilaku manusia.

• Motif Kekuasaan
Merupakan kebutuhan manusia untuk memanipulasi manusia lain melalui keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Clelland menyimpulkan bahwa motif kekuasaan dapat berfifat negatif atau positif. Motif kekuasaan yang bersifat negatif berkaitan dengan kekuasaan seseorang. Sedangkan motif kekuasaan yang bersifat positif berkaitan dengan kekuasaan social (power yang dipergunakan untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan kelompok).

• Motif Berprestasi
Merupakan keinginan atau kehendak untuk menyelesaikan suatu tugas secara sempurna, atau sukses didalam situasi persaingan (Chelland). Menurut dia, setiap orang mempunyai kadar n Ach (needs for achievement) yang berlainan. Karakteristik seseorang yang mempunyai kadar n Ach yang tinggi (high achiever) adalah :
1. Risiko moderat (Moderate Risks) adalah memilih suatu resiko secara moderat
2. Umpan balik segera (Immediate Feedback) adalah cenderung memilih tugas yang segera dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam mewujudkan tujuan, cenderung memilih tugas-tugas yang mempunyai criteria performansi yang spesifik.
3. Kesempurnaan (accomplishment) adalah senang dalam pekerjaan yang dapat memberikan kepuasaan pada dirinya.
4. Pemilihan tugas adalah menyelesaikan pekerjaan yang telah di pilih secara tuntas dengan usaha maiksimum sesuai dengan kemampuannya

• Motif Untuk Bergabung
Menurut Schachter motif untuk bergabung dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk berada bersama orang lain. Kesimpulan ini diperoleh oleh Schachter dari studinya yang mempelajari hubungan antara rasa takut dengan kebutuhan berafiliansi.

• Motif Keamanan (Security Motive)
Merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari hambatan atau gangguan yang akan mengancam keberadaannya. Di dalam sebuah perusahaan misalnya, salah satu cara untuk menjaga agar para karyawan merasa aman di hari tuanya kelak, adalah dengan memberikan jaminan hari tua, pesangon, asuransi, dan sebagainya.

• Motif Status (Status Motive)
Merupakan kebutuhan manusia untuk mencapai atau menduduki tingkatan tertentu di dalam sebuah kelompok, organisasi atau masyarakat. Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa sumber status seseorang yaitu :
1. Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang anggota keluarga yang memperoleh status yang tinggi oleh karena keluarga tersebut mempunyai status yang tinggi di lingkungannya.
2. kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas perseorangan antara lain karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, kepribadian.
3. Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi statusnya. Misalnya, pekerja yang berpendidikan, berpengalaman, mempunyai gelar, dsb.
4. Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam lingkungannya. Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
5. Kekuasaan dan kekuatan (Autoriry and Power). Dalam suatu organisasi, individu yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang formal akan memperoleh status yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu-individu yang ada di bawahnya.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

1. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut arti katanya, motivasi atau motivation berarti motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan. Dalam kamus administrasi, Drs. The Liang Gie CS, memberikan perumusan akan motivating atau pendorong kegiatan sebagai berikut: “pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer dalam memberikan insprasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan ornag-orang atau karyawan agar mereka besemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari ornag-orang tersebut.

Di bawah ini tercantum beberapa definisi atau pengertian motivasi kerja dari sejumlah penulis sebagai berikut:
• George R. Terry berpendapat “motivasi kerja adalah suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak sesuatu”.
• Dr. Sondan P. Siagian, MPA berpendapat bahwa: “Motivasi kerja merupakan keseluruhan proses pemberian motivasi berkerja para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
• Wahjosumadjo menyatakan, “motivasi kerja merupakan suatu prsoses psikologis yang mencerminkan interaski antara sikap kebutuhan persepsi dan kepuasan yang terjadi pada diri seseorang.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

1. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut arti katanya, motivasi atau motivation berarti motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan. Dalam kamus administrasi, Drs. The Liang Gie CS, memberikan perumusan akan motivating atau pendorong kegiatan sebagai berikut: “pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer dalam memberikan insprasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan ornag-orang atau karyawan agar mereka besemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari ornag-orang tersebut.

Di bawah ini tercantum beberapa definisi atau pengertian motivasi kerja dari sejumlah penulis sebagai berikut:
• George R. Terry berpendapat “motivasi kerja adalah suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak sesuatu”.
• Dr. Sondan P. Siagian, MPA berpendapat bahwa: “Motivasi kerja merupakan keseluruhan proses pemberian motivasi berkerja para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
• Wahjosumadjo menyatakan, “motivasi kerja merupakan suatu prsoses psikologis yang mencerminkan interaski antara sikap kebutuhan persepsi dan kepuasan yang terjadi pada diri seseorang.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

1. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut arti katanya, motivasi atau motivation berarti motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan. Dalam kamus administrasi, Drs. The Liang Gie CS, memberikan perumusan akan motivating atau pendorong kegiatan sebagai berikut: “pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer dalam memberikan insprasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan ornag-orang atau karyawan agar mereka besemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari ornag-orang tersebut.

Di bawah ini tercantum beberapa definisi atau pengertian motivasi kerja dari sejumlah penulis sebagai berikut:
• George R. Terry berpendapat “motivasi kerja adalah suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak sesuatu”.
• Dr. Sondan P. Siagian, MPA berpendapat bahwa: “Motivasi kerja merupakan keseluruhan proses pemberian motivasi berkerja para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
• Wahjosumadjo menyatakan, “motivasi kerja merupakan suatu prsoses psikologis yang mencerminkan interaski antara sikap kebutuhan persepsi dan kepuasan yang terjadi pada diri seseorang.
G. Terry mengemukakan bahwa “Motivasi diartikan sebagai mengusahakan supaya seseorang dapat menyelesaikan mempekerjaan dengan semangat karena ia ingin melaksanakannya”.
• M. Manullang memberikan pengertian motivasi sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang-orang tersebut.
2. TEORI DRIVE (TEORI REINFORCEMENT )
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Demikian juga prinsip hukuman (Punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat. Contoh : pengukuhan yang relatif malar adalah mendapatkan pujian setelah seseorang memproduksi tiap-tiap unit atau setiap hari disambut dengan hangat oleh manajer.

A. Pengertian Teori Drive
Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
• Suatu keadaan yang mendorong
• Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong
• Pencapaian tujuan yang memadai
• Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai
Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Be berapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda
B. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban –jawaban yang benar dan aturan pokok lain yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pengukuran dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang didinginkan ) atau negatif ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang didinginkan telah diberikan ), tetapi organisme harus membuat antara akasi atau tindakannya dengan sebab akibat.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.
3. TEORI HARAPAN
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229)
Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan 2001:165).
Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu
1. harapan (expentancy)
2. nilai (Valence)
3. pertautan (Inatrumentality)

• Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku .Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian
• Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu
• Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1 yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat ke dua.
Teori ini termasuk kedalam Teori – Teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957) yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan (path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana (Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena nilainya yang positif bagi organisasi. Secar khusus, teori ini memberikan beberapa implikasi yang jelas dan positif bagi manajer, dimana manajer hendaknya memperhatikan petunjuk sebagai berikut:
Menentukan mana penghargaan yang lebih penting para pegawai. Misalnya, kebanyakan manajer seringkali memandang bahwa pemberian gaji dan tunjangan yang tinggi sangat diinginkan pegawai, namun setelah dilakukan pnlitian dia terkejut karena hasilnya justru menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terbukti. Demikian perlu dicatat bahwa keinginan para pegawai berbeda – beda,dan oleh karena itu mereka tidak memberikan respon dengan cara yang sama terhadap sistem insentif perusahaan.


Mendefinisikan kinerja yang baik dengan menetapkan secara benar standar kuantitas dan kualitas kerja yang terukur. Memastikan bahwa tujuan kinerja bersifat realistik, apabila pegawai tidak mencapai tujuan kinerja yang diharapkan, maka motivasi untuk bekerja pun menjadi rendah. Pegawai harus merasakan bahwa penghargaan yang diterima terasa adil. Tetapi sistem motivasi yang berdasarkan pada equity (keadilan) jangan dikacaukan dengan sistem yang berdasarkan equality (kesamaan), dimana seluruh pegawai diberikan dengan penghargaan yang sama dengan mengabaikan kualitas kerja dan hasil kerja masing – masing individu. Mengingat ada beberapa organisasi yang memiliki aturan kerja yang kaku dan sistem penghargaan yang mendorong para pekerja untuk mencapai hasil yang setinggi – tingginya, maka para manajer hendaknya merancang sistem penghargaan yang lebih fleksibel dan equitable.

4. Contoh Implikasi Teori Drive-Reinforcement dan Teori Harapan
A. Teori Drive-Reinforcement
Biasanya di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalkan seorang kuli panggul di pasar tradisional, jika ia dapat mengangkut/mengirim 5 ton buah pada tiap 5 karung maka akan diberikan 2 kg buah segar oleh pemilik toko buah tersebut,
Drive-Reinforcement nya berbentuk reward berupa materi yang diberikan pemilik toko kepada pekerjanya (kuli panggul).


B. Teori Harapan
Contoh Kasus PHK
Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.
• Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus:
» Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
» Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
» Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb. Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menerapkan sistem pencatatan yang rapi untuk memastikan bahwa masing-masing karyawan mendapatkan poin bonus secara adil.

DAFTAR PUSTAKA
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
http://wangmuba.com/2009/02/18/teori-teori-motivasi/
http://wangmuba.com/2009/02/18/teori-harapan-expectancy/
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/motivasi-teori-proses-dan-penerapan

TEORI MOTIVASI; TEORI MASLOW DAN TEORI TUJUAN

1. TEORI MOTIVASI ABRAHAM MASLOW
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat mengenai konsep motivasi manusia dan mempunyai lima hierarki kebutuhan, yaitu :
• Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah)Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
• Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
• Kebutuhan sosial (Social Needs) Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
• Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs) Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya.
• Kebutuhan Akutualisasi Diri (Self Actualization) Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.

Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas.
2. Menikmati pengalaman baru.
3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4. Memiliki standar moral yang jelas.
5. Memiliki selera humor.
6. Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8. demokratis dalam menerima orang lain.
9. Membutuhkan privasi.
10. Bebas dari budaya dan lingkungan.
11. Kreatif.
12. Spontan.
13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14. Mengakui sifat dasar manusia.
15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
» Contoh/implikasi dari teori Maslow pada kehidupan
Sekelompok Group Band jika sudah memenuhi kebutuhan hirarki maslow dari kebutuhan fisiologis, seperti makan, kebutuhan jasmani lain, hingga kebutuhan self esteem (harga diri/pengakuan diri) yang dalam arti grup band tersebut sudah mempunyai nama (terkenal) dimasyarakat luas, mengaktualisasi dirinya selain manggung ke kota-kota besar, luar negeri, juga dengan membuka kursus atau les musik yang mengatas namakan nama grup bandnya pada tempat kursus/les, yang pengajarnya pemain grup band tersebut dengan manage waktu dan tempatnya.
2. TEORI TUJUAN
• Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat/intentions (tujuan-tujuan) dengan perilaku.
• Teori ini secara relatif lempang dan sederhana. Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Menurut Locke, tujuan-tujuan yang cukup sulit, khusus dan yang pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan menghasilkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang taksa, tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Teori tujuan, sebagaimana dengan teori keadilan didasarkan pada intuitif yang solid. Penelitian-penelitian yang didasarkan pada teori ini menggambarkan kemanfaatannya bagi organisasi.
• Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management By Objectives =MBO) menggunakan teori penetapan tujuan ini. Berdasarkan tujuan-tujuan perusahaan, secara berurutan, disusun tujuan-tujuan untuk divisi, bagian sampai satuan kerja yang terkecil untuk diakhiri penetapan sasaran kerja untuk setiap karyawan dalam kurun waktu tertentu.
• Penetapan tujuan juga dapat ditemukan dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence) yang berbeda-beda.
• Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, dapat seperti MBO, diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keterikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu dapat terjadi bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.

DAFTAR PUSTAKA
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta :Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
dspace.widyatama.ac.id/bitstream/handle/10364/.../content%201.pdf?...
alumnifatek.forumotion.com/...motivasi.../teori-motivasi-t595.htm
wangmuba.com/.../teori-penetapan-tujuan-goal-setting-theory/
http://wangmuba.com/2009/02/18/teori-teori-motivasi/
http://wangmuba.com/2009/02/18/teori-harapan-expectancy/
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/motivasi-teori-proses-dan-penerapan

Minggu, 08 November 2009

Psikologi Manajemen

TUGAS
PSIKOLOGI MANAJEMEN
TEORI KEPEMIMPINAN ; TEORI KEPEMIMPINAN SITUASIONAL FIEDLER, MODEL KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON, TEORI PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINAN




Di susun oleh :

Kiki Nurmakiah 10507141
M. Novebri Aditya 10507149
Ninda Kurnia 10507171
Nita Sri handayani 10507297
3PA05
UNIVERSITAS GUNADARMA KALIMALANG BEKASI
2009


DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara suka rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan menurut Gemmil dan Oakley (1992) kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama antara anggota organisasi dalam merumuskan metode baru untuk meningkatkan kualitas organisasi. Fulan (2000, hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a process of persuasion or example by which an individual (or leadership team) induce the group to pursue objectives shared by the leaders and his or her followers”. Fulan berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.

KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

Istilah kepemimpinan dan manajemen seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989), tapi para ahli ilmu kepemimpinan masih mengalami kesulitan membedakan kedua istilah tersebut. Fairholm (1991) menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut sering dianggap sama, istilah kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada istilah manejemen. Namun Nicholls (2002) berbeda pendapat dengan Fairholm, Nicholls berpendapat bahwa manajemen itu lebih penting daripada kepemimpinan. Para ahli juga berbeda pendapat apakah seseorang bisa menjadi pemimpin sekaligus manajer pada saat yang sama. Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah yang mengaburkan perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen (leadership and management).
Namun demikian, di sini perbedaan dari kedua istilah tersebut akan dianalisa dengan menguraikan definisi dari kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah sebuah proses di dalam memberi inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan mempengaruhi anggota tersebut untuk memiliki integritas di dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi organisasi dan selalu memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991). Sedangkan tugas menejer adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan status Quo. Menejer tidak berinisiatif untuk menentukan visi organisasi. Singkatnya menejer lebih memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan dengan se-efektif dan se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa terjaga.

TEORI KEPEMIMPINAN
1. TEORI KEPEMIMPINAN CONTINGENCY FIEDLER (Matching Leaders and Tasks)
Fiddler mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif pada 2 set kondisi.
• Pada set yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
• Pada set yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi2 yg spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.

2. MODEL KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON (Normative Theory: Decision Making and Leader Effectiveness: Vroom & Yetton, 1973)
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan2 yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan ybs melaksanakan tugas2 pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya? Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan?
Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari Vroom and Yetton.
Vroom dan Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama: metode taksonomi kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan (decision tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
1. Autocratic I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
Tidak ada satupun dari metode ini yang dianggap terbaik untuk diterapkan pada berbagai situasi. Para pemimpin harus mencocokkan metode kepemimpinan dengan situasi yang ada. Ada 7 atribut dari situasi yang harus diambil dalam memutuskan metode kepemimpinan seperti apa yang harus digunakan (Vroom & Yetton, 1973):


1. Adakah kualitas lain yang lebih rasional daripada solusi yang telah ada?
2. Apakah saya memiliki informasi dan keahlian yang cukup untuk membuat sebuah keputusan yang berkualitas tinggi?
3. Apakah masalahnya terstruktur?
4. Apakah penerimaan subordinat saya terhadap keputusan yang saya buat akan mempengaruhi efektivitas dalam implementasi keputusan saya?
5. Jika saya harus membuat keputusan sendiri, apakah keputusan saya dapat diterima secara beralasan oleh subordinat saya?
6. Apakah subrodinat saya memiliki tujuan organisasi yang sama dengan saya saat memecahkan masalah ini?
7. Apakah konflik akan terjadi di kalangan subordinat saya ketika solusi ini terpilih?
Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut terspesifikasi melalui metode kepemimpinan macam apa yang paling tepat diterapkan pada situasi tertentu. Jawaban “ya” dan “tidak” akan mengarah pada pohon keputusan (decision tree) yang membantu pemimpin untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Aturan Yang Dirancang Untuk Mendukung Dan Melindungi Hasil Penerimaanm Keputusan ; Vroom & Yetton, 1973:
1. Penerimaan Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, menghilangkan gaya otokratis.
2. Konflik Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, dan mereka memegang pendapat yang saling bertentangan atas sarana untuk mencapai beberapa tujuan, menghilangkan gaya otokratis.
3. Keadilan Aturan: Jika kualitas keputusan penerimaan tidak penting tapi penting, gunakan gaya yang paling partisipatif.
4. Penerimaan Aturan Prioritas: Jika penerimaan sangat penting dan tidak pasti hasil dari keputusan otokratis, dan jika súbor-dinates tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang sangat partisipatif.

3. TEORI PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINAN
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan2 bernilai mereka. Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang menyatakan bahwa kegiatan2 pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yg baik dan kinerja yg baik tsb selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003) :
1. Instrumental (directive) Instrumental (directive): suatu pendekatan yang berfokus pada penyediaan bimbingan tertentu, menetapkan jadwal kerja dan aturan. Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan
2. SupportiveMendukung: sebuah gaya terfokus pada membangun hubungan baik dengan bawahan dan memuaskan kebutuhan mereka. Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. ParticipativePartisipatif: suatu pola di mana pemimpin berkonsultasi dengan bawahan, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan
4. Achievement-orientedPrestasi berorientasi: suatu pendekatan di mana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mencari perbaikan dalam kinerja. Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.





DAFTAR PUSTAKA

P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta :Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.

http://edunet07.multiply.com/journal/item/12/Paradigma_kepemimpinan
psikologi.binadarma.ac.id/jurnal_marcel_rita.pdf.indonesian

rudylatu.googlepages.com/Leadership.ppt
http://one.indoskripsi.com/node/6974
http://www.isiindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=306
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/11/myposting_17927.html
http://www.geocities.com/ppi_malang/artikel2.html

Minggu, 25 Oktober 2009

PSIKOLOGI MANAJEMEN TEORI KEPEMIMPINAN ; TEORI X DAN Y, TEORI 4 SISTEM DAN TEORI CONTIGENCY DALAM MANAJEMEN PERUBAHAN DARI TANNEN BAUM DAN SCHMIDT (19

TUGAS
PSIKOLOGI MANAJEMEN
TEORI KEPEMIMPINAN ; TEORI X DAN Y, TEORI 4 SISTEM DAN TEORI CONTIGENCY DALAM MANAJEMEN PERUBAHAN DARI TANNEN BAUM DAN SCHMIDT (1973)


Di susun oleh :

Kiki Nurmakiah 10507141
M. Novebri Aditya 10507149
Ninda Kurnia 10507171
Nita Sri handayani 10507297

3PA05


UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG
BEKASI
2009




KEPEMIMPINAN


Kepemimpinan pada setiap organisasi merupakan faktor yang sangat penting dan menentukanm keberhasilan suatu organisasi. Kepemimpinan yang sukses ditunjukan dengan keberhasilan mengelola organisasi untuk mencapai tujuan-tujuannya dan tujuan-tujuan pribadi yang terlibat didalamnya.

Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam arti mampu untuk mempengaruhi perilaku orang lain dan kelompok tanpa menghiraukan bentuk alasannya. Kepemimpinan atau leadership merupakan inti dari manjemen dan inti dari kepemimpinan yang menggunakan prinsip hubungan manusia (human relation). Maka buruknya suatu kepemimpinan seseorang tergantung pada baik nuruknya human relations para pemimpin yang melaksanakan kepemimpinannya. Definisi kepemimpinan adlaha keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi orang-orang, agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang memang dikehendaki bersama,
Perilaku yang biasanya muncul kepermukan dan mudah sekali di observasi sebagai seorang pemimpin adalah :
1. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kebutuhan anak buahnya.
2. Membangun pengertian bahwa suatu pekerjaan penting untuk diselesaikan tepat waktu sesuai dengan target yang ditetapkan.
3. Mempunyai kemampuan menyampaikan visi secara jelas.
4. Keterlibatannya dalam suatu pekerjaan selalu memberi arti lebih bagi tim.
5. Mampu mengambil keputusan dan tindakan tepat yang harus dilakukan tim.
6. Dapat memotivasi tim melakukan pekerjaan sesuai arahnya.

TEORI KEPEMIMPINAN MENURUT PARTISIPATIF

1. Teori X dan Teori Y - Douglas Mc Gregor

Pada tahun 1950, Douglas McGregor (1906-1964), seorang psikolog yang mengajar di MIT dan menjabat sebagai presiden Antioch College 1.948-1.954, mengkritik baik klasik dan hubungan manusia tidak memadai untuk sekolah sebagai kenyataan di tempat kerja. Dia percaya bahwa asumsi yang mendasari kedua sekolah mewakili pandangan negatif tentang sifat manusia dan pendekatan lain yang berdasarkan manajemen yang sama sekali berbeda serangkaian asumsi yang diperlukan. McGregor meletakkan ide-idenya dalam buku klasiknya 1957 artikel berjudul "The Human Side of Enterprise" dan buku tahun 1960 dengan nama yang sama, di mana ia memperkenalkan apa yang kemudian disebut humanisme baru. McGregor menyatakan bahwa pendekatan konvensional untuk mengelola didasarkan pada tiga proposisi utama, yang disebut Teori X:

1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-dalam kepentingan ekonomi berakhir.
2. Menghormati orang lain, ini adalah proses mengarahkan usaha mereka, memotivasi mereka, mengendalikan tindakan mereka, dan memodifikasi perilaku mereka agar sesuai dengan kebutuhan organisasi.
3. Tanpa intervensi aktif oleh manajemen, orang akan pasif-bahkan resisten-untuk kebutuhan organisasi. Oleh karena itu mereka harus dibujuk, dihargai, dihukum, dan dikendalikan. Kegiatan mereka harus diarahkan.Tugas manajemen yang demikian hanya menyelesaikan sesuatu

Menurut McGregor organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Teori ini juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalahorganisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi.

Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangkan.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jira dimotivasi secara tepat.

Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, Mc Gregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut McGregor, manajemen ajaran ini didasarkan pada asumsi kurang eksplisit tentang sifat manusia. Menurut McGregor, manajemen ajaran ini didasarkan pada Asumsi kurang eksplisit tentang sifat manusia. Yang pertama dari asumsi ini adalah bahwa individu tidak suka bekerja dan akan berubah jika ada kemauan. Asumsi selanjutnya adalah bahwa manusia tidak ingin tanggung jawab dan keinginan eksplisit arah. Selain itu, individu diasumsikan individu menempatkan keprihatinan di atas bahwa organisasi tempat mereka bekerja dan untuk menolak perubahan, keamanan menilai lebih dari pertimbangan-pertimbangan lain di tempat kerja. Akhirnya, manusia diasumsikan mudah dimanipulasi dan dikendalikan.

McGregor berpendapat bahwa baik klasik dan pendekatan hubungan manusia tergantung manajemen sama ini serangkaian asumsi. McGregor berpendapat bahwa baik klasik dan pendekatan hubungan manusia tergantung manajemen sama ini serangkaian asumsi. Gaya keras menyebabkan manajemen pembatasan output, saling tidak percaya, unionism, dan bahkan sabotase. McGregor disebut gaya kedua manajemen "lunak" dan mengidentifikasi metode-metode sebagai permisif dan kebutuhan kepuasan. McGregor menyarankan bahwa gaya lembut manajemen sering mengarah ke manajer 'kegagalan untuk melakukan peran manajerial mereka. levels. Ia juga menunjukkan bahwa karyawan sering mengambil keuntungan dari manajer yang terlalu permisif dengan menuntut lebih banyak, melainkan tampil di tingkat yang lebih rendah.
Mc.Gregor tertarik pada karya Abraham Maslow (1908-1970) untuk menjelaskan mengapa asumsi Teori X tidak efektif menyebabkan manajemen. Maslow telah mengusulkan bahwa kebutuhan manusia diatur dalam tingkat, dengan kebutuhan fisik dan keamanan di bagian bawah hierarki kebutuhan dan sosial, ego, dan kebutuhan aktualisasi diri di tingkat atas hirarki.


Titik dasar Maslow adalah bahwa begitu suatu kebutuhan terpenuhi, itu tidak lagi memotivasi perilaku; demikian, hanya tidak terpenuhi kebutuhan motivasi. McGregor menyatakan bahwa sebagian besar karyawan sudah mempunyai dan keselamatan fisik mereka pemenuhan kebutuhan dan motivasi bahwa penekanan telah bergeser ke sosial, ego, dan kebutuhan aktualisasi diri. McGregor mengajukan asumsi tersebut, yang ia percaya dapat menyebabkan lebih banyak manajemen yang efektif dari orang-orang dalam organisasi, di bawah rubrik Teori Y. proposisi utama dari Teori Y adalah sebagai berikut:
1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-orang dalam kepentingan ekonomi berakhir.
2. Orang tidak dengan sifat pasif atau resisten terhadap kebutuhan organisasi. Mereka telah menjadi begitu sebagai hasil dari pengalaman dalam organisasi.
3. Motivasi, pengembangan potensi, kapasitas untuk mengasumsikan tanggung jawab, dan kesiapan untuk mengarahkan perilaku ke arah tujuan organisasi semuanya hadir dalam orang-manajemen tidak menempatkan mereka di sana. Ini adalah tanggung jawab manajemen untuk memungkinkan orang untuk mengenali dan mengembangkan karakteristik manusia ini untuk diri mereka sendiri.
4. Tugas pokok manajemen adalah untuk mengatur kondisi organisasi dan metode operasi agar orang dapat mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri dengan mengarahkan usaha mereka ke arah tujuan-tujuan organisasi.
Dengan demikian, Teori Y pada intinya memiliki asumsi bahwa upaya fisik dan mental yang terlibat dalam pekerjaan adalah wajar dan bahwa individu secara aktif mencari untuk terlibat dalam pekerjaan. Ini juga menganggap bahwa pengawasan yang ketat dan ancaman hukuman bukan satu-satunya alat atau bahkan cara-cara terbaik untuk membujuk karyawan untuk mengerahkan usaha produktif. Sebaliknya, jika diberi kesempatan, karyawan akan menampilkan motivasi diri untuk mengajukan upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, menghindari tanggung jawab bukan merupakan kualitas yang melekat sifat manusia; individu akan benar-benar mencarinya di bawah kondisi yang tepat. Teori Y juga beranggapan bahwa kemampuan untuk menjadi inovatif dan kreatif ada di antara yang besar, daripada segmen kecil dari populasi. terkait dengan pekerjaan, keinginan individu imbalan yang memuaskan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Meskipun McGregor tidak percaya bahwa adalah mungkin untuk membuat yang benar-benar tipe Teori Y-organisasi pada 1950-an, ia tidak percaya bahwa asumsi-asumsi Teori Y akan mengarah pada manajemen yang lebih efektif. Dia mengidentifikasi beberapa pendekatan untuk manajemen bahwa ia merasa telah konsisten dengan ajaran Teori Y. Ini termasuk desentralisasi wewenang pengambilan keputusan, pendelegasian, pekerjaan pembesaran, dan partisipatif manajemen. . Program pengayaan pekerjaan yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an juga adalah konsisten dengan asumsi Teori Y. Pada 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, konseptualisasi McGregor Teori X dan Teori Y sering digunakan sebagai dasar untuk diskusi gaya manajemen, karyawan keterlibatan, dan motivasi pekerja. Beberapa penulis menyarankan bahwa organisasi pelaksana Teori Y cenderung untuk kembali kembali ke Teori X dalam ekonomi sulit kali. Lain menyarankan bahwa Teori Y tidak selalu lebih efektif daripada Teori X, tetapi bahwa kemungkinan dari setiap situasi manajerial yang ditentukan dari pendekatan ini lebih sesuai. Yang lain menyarankan ekstensi untuk Teori Y. Salah satunya, William Ouchi's Theory Z, mencoba untuk menggabungkan kekuatan Amerika berdasarkan filosofi manajemen Teori Y dengan filosofi manajemen Jepang.


2. TEORI SISTEM 4 RENSIS LIKERT
Gaya kepemimpian yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan. Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan. Dalam gaya yang ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
• Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
• Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai dengan keinginannya.
• Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
• Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
• Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut terdiri dari:

  1. Sistem 1, otoritatif dan eksploitif: manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh manajer. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki jarak yang jauh;
  2. Sistem 2, otoritatif dan benevolent: manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Manajemen menggunakan penghargaan;, informasi mengalir ke atas dibatasi untuk manajemen apa yang ingin didengar dan keputusan kebijakan sementara datang dari atas beberapa keputusan yang ditetapkan dapat dilimpahkan ke tingkat yang lebih rendah, atasan mengharapkan kepatuhan bawahan
  3. Sistem 3, konsultatif: manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan – keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman. Manajemen menawarkan hadiah, kadang-kadang hukuman; keputusan besar datang dari atas sementara ada beberapa yang lebih luas keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi rincian ke bawah ke atas sementara komunikasi penting hati-hati.
  4. Sistem 4, partisipatif: adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting. Manajemen kelompok mendorong partisipasi dan keterlibatan dalam menetapkan tujuan kinerja yang tinggi dengan beberapa penghargaan ekonomi; komunikasi mengalir ke segala arah dan terbuka dan jujur dengan pengambilan keputusan melalui proses kelompok dengan masing-masing kelompok terkait dengan orang lain dengan orang-orang yang menjadi anggota lebih dari satu kelompok yang disebut menghubungkan pin; dan bawahan dan atasan dekat. Hasilnya adalah produktivitas yang tinggi dan lebih baik hubungan industrial.


Seorang manajer dan supervisor harus selalu menyesuaikan perilaku memperhitungkan karyawan aktual, mengadaptasi prinsip-prinsip umum untuk harapan-harapan, nilai-nilai dan keterampilan yang mereka miliki. Organisasi harus menghasilkan kondisi yang mendorong setiap manajer untuk menangani sensitif dengan mereka. Meskipun dimungkinkan untuk memiliki pekerjaan yang terpusat, manajemen tangguh, yang dapat mencapai produktivitas yang tinggi melalui sistem kontrol masih akan ada yang tidak menguntungkan mereka dan kami sikap antara karyawan terhadap pekerjaan dan manajemen, dengan pergantian buruh yang lebih tinggi dan lebih besar pekerja dan manajemen konflik. Suatu organisasi harus memiliki kesatuan integratif di mana hal-hal apa yang terjadi pada individu dan apa yang penting bagi organisasi adalah sebagai satu.

Rensis Likert memperluas studi kepemimpinan Michigan dengan penelitian ke dalam apa yang membedakan manajer yang efektif dari manajer tidak efektif. Di New Patterns of Management (1961) ia menulis bahwa "atasan dengan catatan terbaik, kinerja utama mereka fokus perhatian pada aspek manusia bawahan mereka 'masalah dan berusaha untuk membangun kelompok kerja yang efektif dengan tujuan kinerja tinggi. "Likert mendefinisikan dua gaya manajer.

1. Pekerjaan berpusat pada manajer, ditemukan untuk menjadi yang paling produktif
2. Karyawan berpusat manajer, ditemukan untuk menjadi yang paling efektif.

Likert juga menemukan bahwa manajer yang efektif menetapkan tujuan-tujuan spesifik, tetapi memberikan kebebasan karyawan dalam cara mereka mencapai tujuan tersebut. Hal ini telah disebut pengawasan umum, sebagai lawan dari pengawasan yang ketat. Dalam jargon bisnis modern ini disebut pemberdayaan.
Organisasi dan Karakteristik Kinerja Sistem Manajemen Berbeda

  • System 1 tidak percaya takut, ancaman, dan hukuman sedikit interaksi, selalu ada ketidakpercayaa
  • System 2 master / hamba imbalan dan hukuman sedikit interaksi, selalu berhati-hati
  • System 3 substansial tapi tidak lengkap kepercayaannya penghargaan, hukuman, beberapa keterlibatan moderat interaksi, beberapa kepercayaan
  • Sistem 4 kepercayaan penuh tujuan yang didasarkan pada partisipasi dan perbaikan luas interaksi. Friendly, kepercayaan yang tinggi.



3. TEORI CONTIGENCY DALAM MANAJEMEN PERUBAHAN DARI TANNEN BAUM DAN SCHMIDT (1973)
Keberhasilan menerapkan manajemen perubahan antara lain sangat ditentukan oleh gaya(style) yang diadopsi manajemen. Teori ini berpendapat tingkat keberhasilan pengmbilan keputusan sangat ditentukan oleh sejumlah gaya yang dianut dalam mengelola perubahan. Gaya/cara yang dimaksud lebih menyangkut pengambilan keputusan dan implementasi. Seseorang dapat melakoni gaya kepemimpinan dalam suatu horizon mulai dari yang sangat otokratik hingga partisipatif.

Dengan demikian, maka menurut teori ini tidak selalu komotmen dan partisipasi bawahan diperlukan. Semua ini memerlukan analisis dan diagnosis mengenai kesiapan kedua belah pihak, yaitu atasan dan bawahan, baik sikap mental, motivasi, maupun kompetensinya.
Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.

Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.

Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Menurut teori kontinuun ada tujuh tingkatan hubungan peminpin dengan bawahan :

1. Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).
2. Pemimpin menjual dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).
3. Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan.
4. Pemimpin memberikan keputusan tentative, dan keputusan masih dapat diubah.
5. Pemimpin memberikan problem dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan (consulting).
6. Pemimpin menentukan batasan – batasan dan minta kelompok untuk membuat peputusan.
7. Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas – batas yang ditentukan (joining).

Jadi, berdasarkan teori continuum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan dasar :
1. Berorientasi kepada pemimpin.
2. Berorientasi kepada bawahan.






DAFTAR PUSTAKA

P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
http://organisasi.org/definisi-pengertian-teori-perilaku-teori-x-dan-teori-y-x-y-behavior-theory-douglas-mcgregor

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://wiki.answers.com/Q/Discuss_the_assumption_of_Douglas_Mc_Gregor_Theory_X_and_Theory_Y&prev=/translate_s%3Fhl%3Did%26q%3DTEORI%2BX%2BDAN%2BY%2BMENURUT%2BMC.GREGOR%26tq%3DTHEORY%2BX%2BAND%2BY%2BBY%2BMC.GREGOR%26sl%3Did%26tl%3Den

www.change.freeuk.com/learning/.../systems1to4.html
www.antiqbook.com/boox/bim/books4000.shtml
http://www.odportal.com/leadership/fastlearner/likert.htm